Just Take What You Need, For Free...

Sejarah Handphone(ku)


"Kalo HP yang dulu ga rusak, pasti ga beli lagi.", ibuku saja sampai melontarkan pendapat seperti itu. Yah, memang sih, aku tidak terlalu bisa menyisihkan uang untuk membeli sesuatu yang aku inginkan. Apalagi kalau bukan masalah finansial. HP pertamaku adalah HP yang tidak terkenal di kalangan teman2ku. Motorola E360. Aku mendapatkannya sewaktu masih semester 2 dari temanku yang dulu masih belum bisa berbahasa jawa dengan baik dan tidak bisa makan rambutan tanpa melukai bijinya (teman yang aneh) dengan harga Rp.610rb. Dengan kebaikannya juga aku boleh membayarnya Rp.560rb dulu dengan alasan untuk membeli kartu perdana dulu.



Aku juga menggunakan IM3 yang ketika itu casing perdananya masih kotak plastik yang setebal 1Cm, buku manual tebal, harga yang tertera adalah "Rp.50.000, bonus pulsa Rp.15.000", yang berarti fisik kartu masih berharga Rp.35.000. IM3 juga masih suka pindah-pindah jaringan dengan sendirinya dari "IM3" yang sinyalnya satu sampai dua bar ke jaringan "sat-c" yang selalu sinyal penuh.

Kata teman-teman kampus, HP-ku adalah pasangan yang betul-betul buruk. Ya, buruk, kombinasi motorola dengan kartu IM3. Dari sekitar 70 orang mahasiswa teknik elektro seangkatanku yang menggunakan kartu IM3 hanya ada dua orang. Temanku yang menggunakan IM3 itu masih untuk tidak dicela seperti aku karena memakai Nokia 3530 yang notabene merupakan HP Nokia layar warna pertama yang beredar di Indonesia.
Hampir semua temanku menggunakan Telkomsel yang masih menggunakan digit awal 21.
Aku menggunakan IM3 atas rekomendasi temen kos yang kebetulan mengerti TI, maklum, dia admin jaringan di KPP Gubeng, Surabaya. Katanya IM3 anak muda banget dan suatu saat pasti berkembang pesat.

Ah, tapi sayang sekali, dengan model charger yang tidak umum, aku susah untuk mencari charger pengganti yang rusak. Akhirnya diakalin pake charger kodok. Ini juga tidak terlalu menggemberikan. Usaha terakhirku adalah memberikan kabel ekstensi pada kutub-kutub charger sebelah dalam. Keputusan buruk tenyata. Tidak ada keputusan yang lebih bijak daripada membeli HP lagi.

HP-ku setelah itu adalah Nokia 3200


Dengan taruhan uang buat Tugas Akhir aku nekad membeli bekas yang masih ada garansi beberapa bulan dengan harga Rp.875rb dan untungnya aku tidak salah pilih. HP itu bertahan sampai sekarang. Dengan usia hampir 4 tahun, 3200 masih dalam kondisi prima, dan satu lagi, aku berharap SE K750 lah yang akan jadi penggantinya. Tentu saja ada alasan khusus mengapa aku menominasikan SE K750 yang mungkin tidak lagi dijual dalam kondisi baru.

3200-ku adalah HP murah dengan fitur yang luar biasa. Triband GSM, downloadable ringtone, wallpaper dan game maupun aplikasi java versi 2.0 walaupun dibatasi maksimal berukuran 64K (S40v1), poliponik, speakerphone, infrared, kamera "mata ikan" yang konyol, radio FM, GPRS kelas 10 dan yang penting, sentolop eh, senter. Jadi, HP-ku selanjutnya juga harus memiliki semua yang ada di 3200 plus kemampuan lain. Sejauh ini, baru SE K750 yang mengakomodasi semua yang ada di 3200, plus kamera resolusi tinggi, java yang lebih mumpuni, MP3 player, video recorder, lampu flash yang bisa digunakan sebagai senter dll. Sementara ini aku belum memerlukan fitur 3G dan TV.

Tapi entah kapan aku bisa memilikinya, niat untuk memiliki HP lagi tidak seperti dulu lagi. Aku cukup puas dengan 3200 yang sudah mampu untuk cek email yahoo, ber-ym ria, mig33 dan sederet aplikasi yang akupun geleng-geleng kepala menyadari kemampuan 3200 ini. Apa aku menunggu rusaknya 3200 seperti kata ibu? atau menunggu K750 seharga Rp.300rb?

Coba liat harga-harga HP saat aku baru masuk kuliah di sini

0 comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar. request juga boleh kok, ntar ku usahakan deh..