Tidak Usah Ikut Tong Sam Chong
Kenapa tiba2 menulis tentang Tong Sam Chong? Ngefans? Or malah sebel? Oke, ada beberapa hal yang membuat aku menulis posting kali ini.
Sore ini aku dengar lagi berita sore tentang devi yang dibius, dirampok, diperkosa, tidak terurus, masuk RS susah, akhirnya mati deh. Malang benar nasib itu orang. Ngrampok ya ngrampok aja, ga usah pake bius segala, iya kalo biusnya bener, dibius formalin atau silikon kan susah (kalo silikon, jadi tambah gede kali). Oke, next...
Kenapa ya, sifat tolong menolong kita ini sudah sedemikian berkurang?
Aku kok merasa bahwa adat ketimuran kita sudah mendekati ambang batas mau habis kayaknya. Suatu budaya yang dulu pernah dibanggakan, bahwa orang indonesia adalah orang yang terkenal akan sifatnya yang ramah tamah. Aku mendapatkan penjelasan itu dari guru IPS sewaktu aku masih sekolah dasar, yang sampai sekarang masih kuingat betul perkataannya. Suatu budaya yang berkembang menjadi slogan nasional "Gotong Royong" yang menurut Bung Karno, merupakan perasan tunggal dari Pancasila.
Coba aku lihat dari beberapa sudut pandang orang lain tentang mengapa sifat bangsa kita mulai bergeser.
Pertama, alasan bahwa kita "belajar dari kesalahan sejarah". Banyak pemikiran bahwa kita dijajah bangsa lain dengan mudah adalah karena sifat ramah tamah bangsa kita. Kita berdagang dengan belanda (jaman dulu lo), didzolimi tapi masih tetap tersenyum (Padi:-) dan akhirnya dijajah deh. Dengan alasan itu orang berargumen kalau kita harus sedikit paranoid, tidak melulu ramah kepada setiap orang.
Kedua, menyalahkan kemiskinan (negeri) kita. "kita ni uda miskin, ngurus diri sendiri aja susah, ngapain ngurus orang lain?".
Ketiga, capek dibohongi (kalau tidak mau menggunakan istilah kerennya, krisis kepercayaan). Okelah, kalau kita dijajah Belanda. Mereka tuh orang jauh, bukan apa2 kita, dudu sanak dudu kadang kata orang jawa. Kalau mereka kejam terhadap kita ya masih masuk akal daripada yang kejam terhadap kita itu saudara kita sendiri.
Teman2 kita itu mungkin melihat, betapa para pejabat keluar masuk kejaksaan, menghadiri pengadilan yang tahu2 turun vonis 2 bulan untuk korupsi sekian milyard (sementara vonis "dimassa" untuk seekor ayam atau selembar daster jemuran).
Betapa kita melihat mereka yang gambarnya kita coblos (April nanti kita contreng) seenaknya jajan ratusan juta rupiah untuk sesuatu yang kita sebagai pembayar pajak tidak merasakan manfaatnya.
Keempat, kesalahan penafsiran tentang globalisasi. Nah ini yang aku maksud dengan tidak usah ikut Tong Sam Chong. Biksu itu kan tujuannya mengambil kitab suci ke barat. Aku cuma mengambil istilah "ke barat"-nya saja dalam hal ini.
Okelah, globalisasi. Banyak yang memuji, tidak sedikit yang mencaci.
Kelima, "Kita tidak boleh ketinggalan informasi". Oke, informasi apa? Coba tanya apa yang ada dalam pikiran remaja tentang remaja di amerika sana. Kebanyakan pasti cuma tahu kalau di Amerika tuh yang namanya free**x itu lumrah. Bahwa orang2 di amerika bisa serumah, bahkan bisa memutuskan untuk mempunyai anak tanpa menikah. Apalagi ditambah sinetron indonesia yang kian tidak bermutu, mengajarkan bahwa setiap orang (anak) bisa mendapatkan segala apa yang dimau dengan cara apapun, termasuk memenjarakan saudara tiri demi warisan. Terlebih yang menjadi tokoh antagonis masih menggunakan seragam biru putih, merah putih malah kadang2.
Karena bergelut di bisnis informasi, aku merasa perlu meluruskan pendapat yang menganggap globalisasi di bidang informasi memberikan banyak andil negatif terhadap budaya bangsa kita. Sebenarnya ada banyak nilai positif di dalamnya.
Kita lihat dari sudut pandang produk globalisasi yang berupa film. Hollywood memang memberikan gambaran tentang ciuman dan "tidur" dengan vulgar, tetapi masalahnya hanya itu yang tertanam di benak pemirsa kita. Sisi lain dari film itu (pesan moral) justru gagal diserap. Bahkan moral yang bukan menjadi pesan moral utama pun tidak terbaca oleh kita.
Sudah lihat film Wall-E? Film itu menggambarkan bahwa bumi sudah sedemikian kotornya sehingga harus ditinggalkan untuk operasi pembersihan besar-besaran. Digambarkan juga sebuah karakter robot yang manusiawi, sangat manusiawi bahkan, jauh lebih manusiawi dari tokoh yang diperankan Nia Ramadani di sinetron Alyssa.
Sedikit tes untuk Anda, apa yang pertama kali Anda akan lakukan ketika seseorang tidak sengaja memukul kepala Anda? Kalau anda orang yang temperamen, mungkin Anda sudah membalasnya. Kalau Anda sedikit lebih sabar, mungkin Anda masih sempat untuk mengomelinya atau sekedar berteriak, "hei, matamu taruh mana?".
Tapi lihat apa yang Wall-E lakukan kali pertama ketika Eve tidak sengaja memukulnya sampai menabrak atap, bahkan sebelah matanya rusak. Wall-E tanpa banyak bicara langsung berlari menuju almari tempat dia menaruh mata cadangannya, segera memasangnya dan melaukan gerakan mata yang lucu untuk menunjukkan bahwa Wall-E tidak marah karena memang Eve tidak sengaja melakukan hal itu.
Contoh lain. Aku baru melihat film The Day The Earth Stood Still yang dibintangi Keanu Reeves. Dalam transportasinya ke bumi, Klaatu (Keanu Reeves) dibungkus dengan daging (dan akhirnya berbentuk) alien. Semua polisi dan tentara yang mengepungnya diminta untuk tidak menembak terlebih dahulu, menunggu reaksi dari si alien. Suasana senyap dan tegang ketika mendadak ada sebuah tembakan ketika Dr.Helen Benson mendekati alien itu. Si Alien roboh, dan tahukah Anda apa kata pertama yang terdengar?
"Medic!"(medis), kata pertama dari mulut Dr.Benson, "Hold fire!" (tahan tembakan), kata kedua dari seorang kapten polisi. Kalo terjadi di lapangan dekat rumahku, mungkin yang terdengar pertama adalah, "Dancuk, sopo sing nembak?" (sialan, siapa yang menembak).
Bisa dipahami kan perbedaannya.
Kalo ada anak kecil terantuk meja, pasti ibunya serta merta memukul mejanya serta berkata, "o, mejanya emang nakal kok", bukan menyuruh untuk lebih hati2. Inikah moral yang akan kita ajarkan kepada anak2 kita nanti?
Seharusnya, moral seperti Wall-E inilah yang harusnya kita serap dengan adanya informasi bejibun dari luar sana. Liat aja Trailernya, terlepas dari pengetahuan dan pemberitahuan media tentang amerika loh.
Aku jadi miris lihat foto di bawah ini. Gimana sih pendidikan (dari orang tua, guru maupun lingkungan) yang didapat anak itu? Aku pribadi, seandainya foto ini tak terlihat siswi-berseragam-merah-putih-berjari-tengah-teracung pun aku sudah tidak tega. Baiklah, berprasangka baik sajalah, anggap siswi itu tidak mengerti apa yang dimaksud dengan mengacungkan jari tengah. Tetap saja dia kurang ajar titik.
terus? udah! (loh, ga enak banget ending postingannya?)
1 comments:
fotona gud, bikin tertawa, ironis, miris, prihatin.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar. request juga boleh kok, ntar ku usahakan deh..